Thailand menjadi satu-satunya negara di ASEAN yang disebut tidak pernah dijajah oleh bangsa Barat.
Sebagian besar orang mulai bertanya, lantas dari mana Thailand membangun kebudayaannya?
Kondisi tidak pernah dijajah ini juga membuat sedikit dari bangsa Thailand yang bisa berbahasa Inggris maupun bahasa asing lain.
Namun apakah benar jika Thailand benar-benar tidak pernah dijajah?
Ternyata, pernyataan ini tidak sepenuhnya benar.
Pengaruh negara lain juga telah lahir di Thailand ketika negara-negara di Asia Tenggara menjadi negara jajahan.
Perang Dunia I dan II mengubah seluruh lanskap kondisi di Asia Tenggara, tidak terkecuali Thailand.
Abad ke-20 telah menyaksikan berbagai kebangkitan dan transformasi, ada pertengangan hebat mempertaruhkan kekuatan kolonial di 1900-an yang dikuasai oleh negara-negara berkuasa di Eropa, yang kemudian jatuh dan secara cepat mempengaruhi terjadinya Perang Dunia I dan II.
Secara terus-terusan, konflik ideologi besar-besaran muncul dan akhirnya mendomindasi beberapa negara sebagai Komunisme lahir pertama di Rusia, kemudian China, dan ke sepanjang bekas dunia kolonial yang dijaga oleh Uni Soviet dan Partai Komunis China.
Perang Dingin dan waktu ketika perang itu menjadi panas seperti di Korea dan Vietnam, memiliki pengaruh kuat pada sistem internasional.
Mayoritas negara-negara sudah bergabung pada ideologi barat yang liberal, atau ke komunisme, atau jatuh ke panggung persaingan negara dunia ketiga yang berisi sebagian besar oleh negara-negara baru merdeka yang baru berkembang.
Hari ini, ideologi komunis telah hampir kuno.
Sejarah menunjukkan catatan perjalanan universal dari revolusi yang dengan cakupan terbaik berniat untuk menghapus ketidakadilan dan menciptakan masyarakat yang setara, tidak akan terkena korupsi, represi, kebrutalan, dan keruntuhan bertahap.
Ada beberapa negara komunis sampai sekarang seperti Kuba, Laos, Vietnam, Korea Utara, dan China Daratan.
Namun, rezim komunis yang kini bisa dihitung itu walaupun sudah bermain kuat di tahap global (China dan Vietnam) telah memperbolehkan kapitalisme mendominasi ekonomi, sementara mempertahankan aturan politik otoritarian.
Komunisme juga yang pertama kali memasuki Thailand.
Mengutip historyofyesterday.com, Asia Tenggara dengan populasi besarnya serta kedekatan dengan Komunis China penting untuk ekspansi komunisme dan persaingan dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat (AS).
Pemberontakan komunis tumbuh, pertama di Vietnam, kemudian di Laos dan Kamboja, bertujuan menjatuhkan penguasa kolonial dan membangun lagi identitas nasional, yang tampak di konflik Vietnam dan akhirnya, kemenangan Vietnam Utara.
Namun, hampir semua negara lain di wilayah itu memiliki masalah dengan perlawanan komunis.
Kerajaan Thailand tidak ada bedanya dalam hal ini, tapi bagaimana kebangkitan komunis memainkan perannya di sana terjadi dengan sangat berbeda dibandingkan dengan wilayah lain.
Komunisme di Thailand dimulai pada akhir 1920-an dengan sumbernya China berupaya untuk mendirikan organisasi.
Ho Chi Min bahkan mengunjungi dan berupaya untuk mengatur jaringan di komunitas kota di Thailand utara.
Namun, aktivitas komunisme ditekan oleh pemerintah dan akhirnya disebut melanggar hukum pada 1933 segera setelah transisi dari absolut menjadi monarki konstitusional.
Selama awal-awal tahun, ideologi komunis tetap terpinggirkan, mungkin karena Thailand tidak pernah dijajah dan juga mengalami perubahan ke pemerintah konstitusi.
Namun, situasi berubah dengan lanskap Perang Dunia II, dan persekutuan terbentuk antara pemerintah yang berkuasa dengan Imperial Jepang.
Banyak yang melawan gerakan ini dan pasukan perlawanan terbentuk dengan cepat.
Menghadapi musuh yang sama, komunis membentuk persekutuan dengan perlawanan itu.
Negarawan senior Pridi Banomyong yang menjadi sosok kontroverisal di Thailand sampai hari ini dan memainkan peran dalam transisi ke monarki konstitusi, merupakan pengaruh penting dalam perlawanan itu.
Sebagai wali raja muda Raja Ananda Mahidol yang belajar di luar negeri saat itu, Pridi menolak bekerjasama dengan Jepang.
Politikus lainnya melawan persekutuan mulai bangkit dengan ketidakpuasan publik meningkat dan keberuntungan Jepang terhapus.
Persekutuan tidak memberi hal baik bagi yang dianggap terlalu dekat dengan komunisme.
Dalam tahun-tahun kacau segera setelah Perang Dunia II, yang melihat kematian misterius Raja Ananda, sebuah kudeta militer dan kegagalan kudeta oleh Pridi, pemerintah memperkuat diri melawan pemberontakan di masa depan.
Pridi dituduh menjadi simpatisan komunis dan tidak pernah kembali lagi ke Thailand.
Aktivitas Komunis mulai meluas seperti halnya di Asia Tenggara lainnya, dengan kebangkitan penimbunan senjata di wilayah kota-kota menghadapi perlawanan di masa depan.
Sementara itu, kelompok pasifis di wilayah urban memprotes keterlibatan AS di negara tersebut.
Perlawanan
Perlawanan memanas pada awal 1960-an dengan sejumlah pembunuhan tokoh-tokoh politik dan mulai masuk puncaknya pada 1965 dengan peperangan lebih besar antara pasukan keamanan Thailand dan pejuang komunis.
Banyak pihak komunis adalah para etnis minoritas dari wilayah utara dan timur laut Thailand, yang juga lokasi perlawanan terjadi.
Banyak juga dari tokoh-tokoh komunis ini merupakan mahasiswa yang meninggalkan universitas dan SMA di negara itu.
Perlawanan menerima senjata dan berlatih di Komunis Pathet Lao di Laos dan dari Vietnam Utara.
Juga, seawal pergerakan masyarakat, mereka mulai dikenal dengan ideologi Maoisme.
Konflik tingkat rendah dan ketegangan sedikit lebih besar berlanjut selama beberapa bulan dan sudah menghasilkan kebrutalan signifikan di kedua belah pihak.
Namun, beberapa pemerintah lebih sensitif kepada akar masalah ketegangan itu dan mengambil beberapa langkah untuk menyelesaikannya.
Konflik berkembang, dan para komunis yang setia jatuh pada faksionalisme.
Pergerakan tidak pernah mendapat dukungan besar sebelumnya dari Rusia atau China dalam cara Vietnam Utara mendapatkan dukungan.
Dengan Vietnam meraih kemenangan, mereka melanjutkan mendukung komunisme di Thailand, dengan ketegangan hubungan antara China dan Vietnam, Partai Komunis Thailand juga mengambil posisi di antara dua negara penjaga itu.
Akhirnya, partai terpecah dan partai akhirnya lemah, yang segera dimanfaatkan oleh pemerintah pusat.
Tahun 1983, kepala negara Prem Tinsulanonda, yang menjadi perdana menteri, memerintahkan Perintah 66/2523, yang melarang peran pasukan bersenjata dalam kebangkitan yang terjadi dan memprioritaskan penanganan politik ditujukan dalam rekonsiliasi.
Hal-hal ini termasuk menangani isu ketidakadilan yang sering memotivasi komunis, dan juga suaka dan reintegrasi penuh untuk para tokoh perlawanan yang memilih pergi.
Akhirnya banyak yang pergi dan Partai Komunis Thailand bubar.