Translate

Thursday, May 17, 2012

Revolusi Perancis

Revolusi Prancis adalah perubahan bentuk pemerintahan Prancis dari kerajaan menjadi republik. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Louis XVI pada abad ke-18. Revolusi ini memiliki semboyan: liberte, egalite, fraternite (kebebasan, persamaan, persaudaraan).
Faktor-faktor penyebab terjadinya revolusi
a. Sebab-sebab umum
1) Ketidakadilan dalam bidang politik dan ekonomi Masyarakat Prancis pada waktu itu terbagi atas tiga golongan.
a) Golongan I terdiri atas kaum bangsawan dan raja yang bebas pajak bahkan berhak memungut pajak.
b) Golongan II terdiri atas kaum agama (pendeta dan cendikia) yang bebas pajak dan mendapat uang (gaji) dari hasil pajak.
c) Golongan III adalah rakyat biasa yang hanya menjadi objek pajak.
2) Kekuasaan absolut raja
Pemerintahan Louis XIV bersifat monarki absolut, di mana raja dianggap selalu benar. Semboyan Louis XIV adalah l’etat c’est moi (negara adalah saya). Untuk mempertahankan keabsolutannya itu, ia mendirikan penjara Bastille. Penjara ini diperuntukkan bagi siapa saja yang berani menentang keinginan raja. Penahanan juga dilakukan terhadap orang-orang yang tidak disenangi raja. Mereka ditahan dengan surat penahanan tanpa sebab (lettre du cas). Absolutisme Louis XIV tidak terkendali karena kekuasaan raja tidak dibatasi undang-undang.
3) Timbul paham baru
Menjelang Revolusi Prancis muncul ide-ide atau paham-paham baru yang pada intinya adalah memperjuangkan kebebasan dan pemenuhan hak-hak asasi manusia. Paham-paham ini muncul akibat berbagai tekanan yang menyengsarakan rakyat mulai menimbulkan keinginan-keinginan untuk mencapai kebebasan. Paham-paham yang melatari terjadinya revolusi di Prancis sebagai berikut.
a) Ajaran dari Jean Jasques Rousseau, tokoh pemikir dari Prancis. Dalam bukunya Du Contrat Social, ia menyatakan bahwa menurut kodratnya manusia dilahirkan sama dan merdeka. Buku ini juga memuat tiga prinsip yang di kemudian hari menjadi semboyan Revolusi Prancis, yaitu liberte, egalite, dan fraternite (kemerdekaan/kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Ajaran tersebut menyebabkan Rousseau mendapat sebutan Bapak Demokrasi Modern.
b) Montesquieu, yang terpengaruh ajaran John Locke (Inggris), menyebarluaskan ajaran Trias Politika, yaitu pembagian kekuasaan menjadi kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
c) Paham Rationalisme dan Aufklarung menuntut orang untuk berpikir rasional (masuk akal).
d) Ajaran Voltaire tentang kebebasan.
4) Negara mengalami krisis ekonomi
Prancis mengalami kemerosotan ekonomi dan keuangan pada masa pemerintahan Louis XVI. Hal ini disebabkan karena sikap raja dan keluarganya, terutama permaisuri Marie Antoinette, selalu menghambur-hamburkan uang negara untuk berfoya-foya.
5) Pengaruh perang kemerdekaan Amerika
Dalam perang kemerdekaannya dari Inggris, Amerika dibantu oleh tentara sukarelawan Prancis yang dipimpin Lafayette. Mereka kemudian terpengaruh oleh napas kemerdekaan Amerika. Nilai-nilai perjuangan kemerdekaan Amerika seperti yang terangkum dalam naskah proklamasinya, Declaration of Independence (disampaikan oleh Thomas Jefferson), yaitu pengakuan atas hak-hak manusia, dengan segera menjalar menjadi paham baru di Prancis.
b. Sebab-sebab khusus
Untuk mengatasi krisis ekonomi, raja memanggil Dewan Perwakilan Rakyat (Etats Generaux). Dewan ini ternyata tidak mampu mengatasi masalah sebab dalam sidang justru terjadi pertentangan mengenai hak suara. Golongan I dan II menghendaki tiap golongan memiliki satu hak suara, sementara golongan III menghendaki setiap wakil memiliki hak satu suara. Jika dilihat dari proporsi jumlah anggota Etats Generaux yang terdiri atas golongan I, 300 orang, golongan II 300 orang, dan golongan III 600 orang, dapat disimpulkan bahwa golongan I dan II menghendaki agar golongan III kalah suara sehingga rakyat tidak mungkin menang. Jika kehendak golongan III yang dimenangkan, golongan I dan II terancam sebab di antara anggota mereka sendiri ada orang-orang yang bersimpati pada rakyat.
Akibat Revolusi Prancis
Akibat atau dampak Revolusi Prancis di dalam negeri dapat dipetakan sebagai berikut.
a. Bidang politik
Revolusi Prancis membawa perubahan dalam sistem pemerintahan yang semula berupa monarki absolut menjadi pemerintahan yang demokratis. Hak asasi manusia diakui dan dihormati. Konstitusi atau undang-undang dasar merupakan kekuasaan yang tertinggi. Muncul pula ide-ide republik, suatu bentuk pemerintahan yang melayani kepentingan umum, dan prinsip-prinsip berikut.
1) Demokrasi, yaitu prinsip bahwa setiap manusia dilahirkan dengan hak yang sama dalam kehidupan bernegara. Hak yang dimaksud adalah hak bersuara, mengemukakan pendapat, berserikat, dan berkumpul.
2) Perasaan nasionalisme sesuai dengan semboyan Revolusi Prancis: Liberte, Egalite, Fraternite (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Prinsip ini membangkitkan jiwa persatuan yang menjadi kekuatan dalam menghadapi segala bahaya yang mengancam negara.
b. Bidang ekonomi
Beberapa akibat adanya Revolusi Prancis dalam bidang ekonomi sebagai berikut.
1) Petani menjadi pemilik tanah kembali.
2) Penghapusan pajak feodal.
3) Penghapusan gilde.
4) Timbulnya industri besar
c. Bidang sosial
Akibat-akibat dalam bidang sosial, antara lain,
1) dihapuskannya feodalisme,
2) adanya susunan masyarakat yang baru, dan
3) adanya pendidikan dan pengajaran yang merata untuk semua lapisan masyarakat.
Adapun akibat atau dampak Revolusi Prancis terhadap dunia, termasuk dalam perjuangan pergerakan bangsa Indonesia, sebagai berikut.
a. Penyebaran ide liberalisme.
b. Adanya penyebaran paham demokrasi di tengah kehidupan bernegara.
c. Berkembangnya ide nasionalisme.
Sumber:
1. Wikipedia.org
2. history1978.wordpress.com

Tuesday, May 15, 2012

Romusha : Terowongan Neyama

Terowongan Neyama Romusha 
Sebuah terowongan, dikerjakan ribuan romusha, dibangun untuk mengalirkan banjir ke Samudra Hindia.
OLEH: HENDRI F. ISNAENI
PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.”
Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.  
Menurut sejarawan Universitas Keio Jepang, Aiko Kurasawa, pemrakarsa pembangunan terowongan tersebut adalah Residen Enji Kihara, lulusan Akademi Militer Jepang dan pernah menjabat kepala Departemen Pembangunan Kantor Gubernur Jenderal di Taiwan. Pembangunan dimulai pada Februari 1943.
Sebagai pelaksana proyek, sebuah koperasi irigasi diorganisasikan di bawah pangreh praja yang bertanggung jawab atas pencarian buruh dan pengamanan dana pembangunan. Proyek terowongan ini membutuhkan 20 ribu romusha dengan dana f.750 ribu; sebanyak f.300 ribu disediakan karesidenan dan sisanya pemerintah militer.
“Karena tidak ada buldoser dan jarang terdapat dinamit, seluruh pekerjaan dilakukan dengan tenaga manusia,” tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol.
Beberapa bulan pertama pekerjaan berjalan lancar, dengan mempekerjakan lebih dari 10 ribu romusha per hari. Mereka mengeruk tanah dengan alat sederhana yang dibawa dari desa masing-masing. Setiap romusha mendapat upah sebesar f.0.14 per hari, sudah dipotong pajak dan makanan. Sedangkan mandor menerima upah f.0.38, sudah dipotong pajak.
Shigaru Sato dalam War, Nationalism, and Peasants menerangkan, untuk mengerjakan terowongan itu, dibuatlah saluran terbuka dengan meratakan punggung bukit. Batu-batu kapur di dasar punggung bukit harus dihancurkan namun tak tersedia cukup bubuk peledak. Permintaan bantuan kepada Departemen Transportasi Jepang di Jakarta ditolak. Bantuan datang dari kepala Departemen Industri, Tennichi Koichi. Dia berminat pada proyek terowongan itu yang dia anggap memiliki potensi meningkatkan produksi pertanian.
“Atas persetujuan atasannya, Yamamoto Moichiro, Tennichi setuju mengalihkan beberapa bubuk peledak yang telah disisihkan dari program pertambangan batu bara di Bayah (Banten Selatan),” tulis Sato.
Sebelum meledakkan bukit, staf Residen Kediri menerima informasi dari warga bahwa rawa-rawa itu sebelumnya menjadi landasan bagi korps penerbangan Angkatan Laut Belanda; dan ketika Belanda mundur mereka membenamkan beberapa bom. Ketika melakukan penyisiran, ditemukan 23 bom. Sebuah dealer bahan peledak milik seorang Tionghoa mengambil 10-20 ton bubuk peledak kuning dari bom-bom itu.
Selain menggunakan peledak, karesidenan juga meminjam mesin pengebor dan kompresor dari Ishihara Sangyo Co. Ltd. Departemen Administrator Militer di Jakarta mengirim seorang kapten Angkatan Darat, seorang insinyur sipil yang berpengalaman dalam pembangunan terowongan. Pembangunan terowongan pun dimulai pada Oktober 1943.
“Residen Kihara antusias. Dia sering bekerja di lokasi konstruksi, menggunakan bor dan mengatur dinamit sendiri. Sampai pada satu kesempatan dia keracunan gas yang dihasilkan oleh ledakan di dalam terowongan dan harus dibawa keluar dari terowongan,” tulis Sato.
Pembangunan menghadapi kendala. Masalah dana bisa diatasi tapi mobilisasi romusha tersendat, bahkan berkurang. Selain karena berlokasi di daerah tertutup rawa dan hutan penuh binatang buas, bahkan diyakini banyak hantu dan roh jahat, dan malaria merebak. Penduduk juga mendapatkan kabar bahwa pekerjaan itu sangat berat. Beberapa romusha tinggal tulang terbungkus kulit. Banyak yang sakit, bahkan meninggal dunia.
Pangreh praja dan pejabat desa dikerahkan dan diberi kuota untuk merekrut romusha. Untuk memenuhi kuota itu, mereka melakukan “bujukan” yang bersifat memaksa. Seorang kepada desa Gurah di Tulungagung mengirim sekitar 500 orang dari desanya.
Target awal pembangunan terowongan rampung awal Juni tapi meleset jadi Juli 1944. Terowongan itu, yang dalam bahasa Jawa disebut Tumpak Oyot (Akar Gunung), diterjemahkan Nishida, penterjemah yang bekerja di Karesidenan Kediri, menjadi Neyama: ne artinya akar dan yama berarti gunung. “Di antara penduduk lokal dan para buruh yang dimobilisasi membangun terowongan itu menyebutnya Neyama romusha,” tulis Sato.
Terowongan Neyama, tulis Aiko Kurasawa, membuat petani di wilayah tetangganya terbebas dari banjir. Tapi terowongan itu membawa akibat yang tak diperhitungkan sebelumnya. Nganjuk, wilayah Kediri utara, kekurangan air.
Terowongan tersebut masih bekerja baik hingga Jepang angkat kaki dari Indonesia. Kerusakan perlahan menghampiri antara lain oleh banjir bandang pada 1955. Empat tahun kemudian, terowongan dibangun kembali sebagai bagian dari Proyek Pembangunan Umum Sungai Brantas dengan biaya dari dana pampasan perang Jepang sebesar US$1.972.000. Proyek ini digarap dua perusahaan konstruksi Jepang, Nippon Koei dan Kashima Kensetsu, di bawah pengawasan Departemen Pekerjaan Umum. Pekerjaan selesai pada April 1961.
Karena Terowongan Neyama dianggap belum cukup menangani banjir di Tulungagung, terutama banjir windon setiap delapan tahun sekali, pemerintah Orde Baru membangun Neyama II yang diresmikan pada 1986.   
Neyama kini menjadi objek wisata karena pemandangan dan terowongan drainase besarnya yang melewati gunung. Namun, di balik keindahan itu, ratusan bahkan mungkin ribuan romusha menjadi korbannya.
 Sumber : http://historia.co.id/artikel/2/1005/Majalah-Historia/Terowongan_Neyama_Romushanbsp;

Thursday, May 3, 2012

Taman Siswa

TAMAN SISWA
Sejarah Taman Siswa adalah sejarah kebangsaan Indonesia. Taman Siswa lahir pada tanggal 3 Juli 1922. Bapak gerakan ini adalah R.M. Suwardi Surjaningrat .
Karena aktivitasnya dalam mengkritik kebijakan Belanda, beliau dibuang di negeri Belanda. Dalam masa pembuangan tersebut ia memakai kesempatan untuk mempelajari masalah-masalah pendidikan dan berhasil merumuskan pernyataan azas pengajaran nasional.
Pernyataan azas Taman Siswa tahun 1992 berisi 7 pasal yaitu:
Pasal ke 1 dan 2 mengandung dasar kemerdekaan bagi tiap-tiap orang untuk mengatur dirinya sendiri. Dalam pasal 1 termasuk juga dasar kodrat alam yang lebih dikenal dengan evolusi . Dasar ini mewujudkan sistem among yang salah satu seginya ialah mewajibkan guru sebagai pemimpin yang berdiri di belakang tetapi mempengaruhi dengan memberikesempatan kepada anak didik untuk berjalan sendiri. Inilah yang disebut dengan semboyan Tut Wuri Handayani. Di samping itu sudah barang tentu guru diharapkan dapat membangkitkan pikiran murid, bila berada di tengah-tengah murid-murid dan memberi contoh bila di depan mereka.
Pasal 3 menyinggung kepentingan-kepentingan sosal, ekonomi dan politik yang mengarah pada dasar budaya.
Pasal ke 4 mengandung dasar kerakyatan, yang terealisasi dengan perluasan pendidikan.
Pasal ke 5 merupakan azas yang sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya (kepercayaan kepada kekuatan sendiri).
Pasal ke 6 berisi persyaratan dalam negejar kemerdekaan diri dengan jalan keharusan untuk membelanjai sediri segala usaha (selfbedruipings system).
Pasal ke 7 mengharuskan adanya keikhlasan lahir batin bagi guru-guru yang mendekati anak didiknya .
Sesungguhnyalah pernyataan azas tersebut merupakan perpaduan pengalaman dan pengetahuan Suwardi Surjaningrat tentang aliran pendidikan Barat dan aliran kebatinan yang mengusahakan “kebahagiaan diri, bangsa dan kemanusiaan”. Selama delapan tahun sejak berdirinya, maka Ki Hadjar Dewantara dan pembantu-pembantunya bekerja secara diam-diam, dalam arti tidak melayani kritik-kritik dari masyarakat kita sendiri maupun dari pihak Belanda yang bernada meremehkan usaha pendidik itu. Namun secara teratur gagasan dan usaha pendidikan yang hidup itu dijelaskan melalui majalah pendidikan umum yang diterbitkan, yaitu Wasita. Banyak sekolah yang telah berdiri menyerahkan sekolahnya kepada Taman Siswa .
Perjuangan melawan Ordonansi Sekolah Liar:
Sebagai salah satu kebijakan Gubernur Jenderal Mr. B.C. De Jonge , pemerintah jajahan mengeluarkan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordonnatie – WSO) pada 17 September 1932 (Stbl: No. 494/1932). Ordonansi itu mulai berlaku pada 1 Oktober 1932. Sampai 1 April 1933 pemerintah masih memberi kesempatan bagi sekolah swasta tak bersubsidi untuk memenuhi persyaratan. Sesudah itu akan diambil tindakan terhadap semua sekolah sejenis yang tidak memenuhi syarat. Menghadapi tindakan pemerintah itu, Majelis Luhur Taman siswa bersidang pada 29 September 1932. Keputusannya, Taman Siswa akan melawan sekuat tenaga sampai ordonansi tersebut dihapuskan. Perlawanan akan dilakukan berdasarkan prinsip tanpa kekerasan. Pada tanggal 1 Oktober, perlawanan dimulai dengan dikirimnya telegram kepada Gubernur Jenderal oleh ki Hajar Dewantara. Yang berbunyi:
Gubernur Jenderal Bogor
Yang mulia ordonansi yang dikeluarkan dengan paksa dipersiapkan dengan tergesa-gesa serta mengenai seluruh sendi hidup masyarakat setelah ditolaknya anggaran pendidikan (sehubungan dengan keputusan Volksraad yang terlalu jauh mengenai penghematan) memberi kesan adanya kecemasan dan kebingunan di pihak pemerintah berdasarkan salah pengertian terhadap kepentingan rakyat stop bolehlah saya memperingatkan bahwa pihak yang tak berdaya sekalipun mempunyai naluri mempertahankan diri dan begitu juga kami boleh jadi karena terpaksa akan melakukan perlawanan yang gigih tapi yang bersifat tanpa kekerasan.
Pada tanggal 3 Oktober 1932, Ki Hadjar Dewantara mengirim juga surat kepada semua organisasi pergerakan nasional. Ki Hadjar menjelaskan bahaya ordonansi tersebut bagi kehidupan seluruh bangsa Indonesia, dan memaparkan sikap dan keputusan Taman Siswa. Semua organisasi nasional tanpa kecuali mendukung sikap dan perjuangan Taman Siswa. Selain itu, juga ikut mendukung berbagai organisasi masyarakat Cina dan Arab. Setiap organisasi mengeluarkan protes. Ratusan orang menyatakan cara masing-masing untuk melawan, seperti bertirakat dan bernazar. Seluruh jajaran pers perjuangan menyiarkan kegiatan perlawanan terhadap ordonansi tersebut. Pemerintah mengeluarkan edaran kepada para pejabat agar bersikap lentur dalam pelaksanaan ordonansi. Taktik ini ternyata tidak mempan. Rakyat terus menyatakan protes gelombang demi gelombang. Pertengahan Oktober 1932 pemerintah mengutus Kiewiet de Jonge, wakil pemerintah di Volksraad untuk berunding dengan Ki Hadjar Dewantara. Pertemuan ini gagal. Pada 8 Desember 1932 sidang Volksraad membicarakan ordonansi itu atas pertanyaan salah seorang anggotanya, P.A.A. Wiranatakoesoemah. Diusulkannya agar sekolah swasta cukup memberitahukan, tidak perlu meminta izin, mengenai pembentukannya. Lagi-lagi pemerintah berkeras untuk tidak mengubah ordonansinya. Akibatnya Ki Hadjar mengumumkan rencana perlawanan baru. Dianjurkannya agar setiap rumah dijadikan perguruan, dengan tiap orang menjadi pengajar. Rencananya itu diberi nama yang sangat menggetarkan pemerintah, “Timbulnya Perguruan Nasional Diatas Kuburan Sistem Sekolah Kolonial”. Dalam pertemuan para pemimpin pergerakan di Yogyakarta, 31 desember 1932, rencana lanjutan sesuai dengan prakarsa Ki Hadjar dibicarakan dan disepakati. Wiranatakoesoemah mengajurkan usul agar pemerintah membuat UU baru tentang sekolah swasta tak bersubsidi berdasarkan tiga prinsip.
1. Pemerintah menarik kembali ordonansi sekolah liar.
2. Dalam satu tahun pemerintah akan memberlakukan kembali ordonansi yang baru.
3. Dibentuk suatu komisi penyusunan kembali UU sejenis.
Dikeluarkan juga suatu pernyataan, jika ordonansi tersebut tidak di tarik sebelum 31 Maret 1933, maka semua anggota BO dan Pasundan yang duduk dalam dewan-dewan perwakilan akan keluar. Pada 7 Februari 1933 usul Wiranatkoesoemah diterima dengan perubahan. Pada hari itu ordonansi yang secara resmi ditarik untuk sementara. Ki Hadjar mengumumkan juga permintaan agar perlawanan tanpa kekerasan dihentikan. Diingatkan bahwa pekerjaan sebenarnya belum selesai. Setiap orang Indonesia masih terus harus bekerja mengawasi jangan sampai timbul lagi kebijakan serupa itu .
SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL, SEMOGA PENDIDIKAN INDONESIA MENJADI LEBIH MAJU. AMIN.
BY  TOPAN PURBAYA ( Guru Sejarah SMA N 1 Kutasari PBG)